Selasa, 02 April 2013

Kue Moho



Dear Trio Host, Host JTIW,

mau ikutan memeriahkan event akbar ini ya ...

Kue moho dipakai dalam Festival Sembahyang Rebutan (Festival Roh yang Kelaparan) di Semarang yang berlangsung 2 hari sampai 1 bulan pada bulan ke-7, digelar di halaman kelenteng untuk menyenangkan para arwah. Berbagai pertunjukan seperti wayang potehi, gambang kromong, keroncong dan orkes tradisional digelar menemani berbagai sajian sembahyang yang terdiri dari berbagai masakan, arak, teh, dan ribuan kue moho, bapao merah, kue mangkuk merah dan pink, buah-buahan, dan manisan buah. (Disarikan dari Buku Seri Masak Femina - Masakan Peranakan Tionghoa Semarang karangan Hiang Marahimin terbitan Gaya Favorit Press).
Kue ku dan moho yang berwarna merah, sama juga melambangkan persatuan anggota keluarga. Dan warna merah, sesuai dengan legenda untuk menakuti monster yang bernama “Nian” (baca: nien), yang takut warna merah dan suara keras. Legenda ini sudah banyak diceritakan di mana-mana.
Teringat kue moho, teringat kakak saat masa perploncoan masuk kuliah, salah satunya adalah membawa kue moho. Katanya karena sudah jadi mahasiswa (moho-nya siswo - murid yang paling hebat - red) maka harus akrab dengan kue ini, hahaha ... bisa aja itu senior-senior.  Kata kakak, kue ini harus dimakan jika berbuat kesalahan, tetapi tidak boleh sambil minum. Kebayang itu mahasiswa sampai melotot-lotot berusaha menelan kue ini karena memang teksturnya padat dan seret. Wkwkwkkwkkkkk ....
Tetapi ga tahu kenapa, aku dulu suka makan kue ini, selain beli di pasar, biasa ada mbok-mbok menggendong tenong (tempat makan dari aluminium bersusun) yang jualan keliling. Kue ini selalu ada selain kue-kue basah, gorengan, dan lauk siap saji lainnya. Suka aja sama penampilan dan rasanya yang khas, jadul dan ga ada duanya itu. Kalo di mbok-mbok itu bentuknya sedikit lebih kecil daripada yg dijual di pasar atau yang buat sembahyangan.
Sehubungan dengan NCCJTW, pengin rasanya mengulang memori itu. Aku udah lupa, dulu alm. ibu bikin seperti apa, catatan juga sudah tidak ada. Hasil browsing, ternyata resep yang beredar versinya seperti kue mangkok atau bolu kukus beras. Padahal seingatku teksturnya seperti roti/bapao tetapi lebih padat dan seret. Hihihi ... inget komentar Pak Wisnu di milis, terdapat aroma apek ... hahaha ... Bongkar koleksi majalah dan buku, ketemu resep bu Hiang Marahimin yang menurutku cukup otentik. Maka sampailah aku pada akhir pencarian.
Kue Moho
Buku Seri Masak Femina - Masakan Peranakan Tionghoa Semarang karangan Hiang Marahimin
Sirup: rebus hingga larut
250 ml air
100 gr gula pasir
Adonan tepung
500 gr tepung terigu
2 sdt garam
2 sdt bp
4 sdt mentega putih
Pewarna merah muda
6 takir daun diameter 8cm tinggi 6cm
Adonan ragi
4 sdt gula pasir
3 sdm air hangat
2 sdt ragi instan
Cara Membuat
1. Adonan ragi: campur gula dan air hingga gula larut, masukkan ragi, aduk. Taruh di tempat hangat 5-10 menit atau hingga berbuih dan ringan.
2. Adonan tepung: ayak terigu, garam, bp, tambahkan mentega, aduk dengan garpu hingga rata dan berbutir kasar, buat lubang di tengah. Campur ragi dan sirup hingga rata. Tuang bertahap ke dalam lubang tepung sambil diaduk dengan tangan hingga adonan kalis.
3. Taruh di atas meja bertabur tepung, uleni hingga licin dan lentur (10 menit). Tutup adonan dengan kain, biarkan di tempat hangat 1-1 1/2 jam atau hingga mengembang 2 kali. Bagi 6 bagian, bentuk bulat.
4. Taruh di takir. Olesi/semprot permukaan atasnya dengan pewarna merah muda, lalu kerat menyilang bagian atasnya. Diamkan 30 menit hingga mengembang 2 kali lipat.
5. Kukus di api besar selama 20 menit.

Salam,
Hesti
http://www.mykitchennotes.blogspot.com/

1 komentar: